Rabu, 06 Juni 2012

Sahabat Untuk di Beri




“Alangkah sulitnya mencari sahabat sejati,” kata seorang teman
“Tak kutemukan walau telah kujelajahi bumi, negeri demi negeri” aku tersenyum menepuk pundaknya
mungkin itu sebab yang kau cari adalah sahabat untuk memberi, adapun sahabat untuk diberi bertebaran diseluruh penjuru bumi.”



Kesadaran awal-awal bagi seorang Salman di Madina adalah bahwa dia seorang asing. Dan seorang asing mula-mula haruslah mencari sahabat untuk diberi, bukan yang hendak memberi.
Gairah itulah yang kemudian kita saksikan begitu menggelora. Gairah untuk selalu memberi kepada saudara yang dicintai telah menjadi lekatan jiwa yang tak pernah lekang dari kalbunya. Telah kita ingat kata-katanya kepada Abud Darda’ dihari yang penuh gejolak rasa ketika dia meminang seorang wanita.

Ya, wanita itu menolak khitahbahnya dan lebih memilih saudara yang dicintainya itu. Maka, “Allahu Akbar!” kata Salman. Segala mahar dan nafkah yang telah saya siapkan, hari ini juga saya serahkan pada Abud Darda’. Segeralah kalian menikah, saya siap menjadi saksinya Insyaallah.”
Tetapi kisah di jalan cinta para pejuang itu tak berhenti hanya disini. Dalam dekapan ukhwah ia berlanjut ketika pada suatu hari Salman berjumpa dengan istri Abud Darda’ itu. Dilihatnya ada kabut yang membayang di wajah wanita shalihah yang pernah menjadi pilihan hatinya itu. Diberanikannya untuk menyapa karena ia telah berjanji pada dirinya untuk melakukan segala yang dibisa demi kebahagiaan mereka berdua. Duka mereka pasti akan menjadi urusannya.

“Bagaiman kabar engkau dan suamimu ?” tanya Salman.
“Kami baik, Alhamdulillah,” Jawab Ummud Darda’ sembari menunduk. “Adapun Abud Darda’, adalah dia tak punya kepentingan dengan urusan dunia.”

“Jelaskanlah!” desak Salman.
“Alhamdulillah, tak satupun siang hari berlalu kecuali dia menjalaninya dengan berpuasa. Dan Alhamdulillah, dia shalat malam dan membaca Al-Qur’an sepanjang gelap dari Isya hingga Subuhnya.”


Bayangkanlah diri kita sebagai seorang lelaki pada umumnya. Lelaki yang kini mengetahui bahwa wanita yang pernah menjadi hasil ikhharah kita tetapi lebih memilih sahabat kita itu, telah ‘disia-siakan’ oleh suaminya. Ada godaan-godaan tentu untuk bicara yang tak sepantasnya. Ada peluang-peluang untuk meniupkan sesal bagi dia yang tak memilih kita. Ada bisikan-bisikan untuk mengambil kesempatan di kala persoalan sedang membelit mereka.
Tetapi Salman bukan kita. Dan Abud Darda’ bukannya menyia-nyiakan istrinya dalam arti yang akrab dikehidupan kita hari ini. Dan hanya terlalu bersemangat menenggelamkan pada kekhusyu’an ibadah hingga agak abai pada hak-hak keluarganya. Maka mari belajar pada Salman tidak hanya untuk tak ikut campur pada urusan rumahtangga orang lain, melainkan juga bertindak demi kebahagiaan mereka yang kita cintai.

“Serahkanlah urusan ini padaku,” ujar Salman pada wanita itu.
Maka pada malam hari itulah Salman bertamu kerumah saudaranya yang terkasih, Abud Darda’. Bahkan dia meminta izin untuk menginap dirumah sang kawan sekaligus tidur dikamar Abid Darda’ yang telah berubah menjadi musolah.
“Baiklah, silahkan wahai saudaraku dalam rahim Islam,” ujar Abud Darda’ agak jengah.
Malampun beranjak dan tiba saatnya Abud Darda’ berdiri menghadap Allah sesuai waktu yang telah dijadwalkan sendiri. “Salman, Saudaraku,” ujarnya “Silahkan beristirahat. Aku harus menunaikan hak Rabbku.”

Salman tersenyum. “Saudaraku,” kata Salman sembari menatap Abud Darda’, Aku bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam GenggamanNya, mulai malam ini kedua kelopak mataku takkan kukatupkan selamanya hingga akhir hidup. Kecuali engkau juga mau tidur sebagaimana aku beristirahat.”
“Apa maksudmu ini?”
“demikian sumpahku telah terucap.”
“Cabutlah!”
“Tidak.”


Malam itu keteguhan hati Salman untuk membujuk Abud Darda’ beristirahat telah meluluhkan niat sahabatnya dalam menghabiskan malam untuk ibadah. Abud Darda’ pun turut tertidur. Hingga menjelang Subuh, Salman membangunkan sahabatnya itu. “Masih ada sedikit waktu setelah istirahatmu, Untuk memenuhi hak Rabbmu.”
Pagi menjelang dan Abud Darda’ tampak lebih segar dari biasanya. Sang istri memasak hidangan istimewa untuk mereka berdua. Meja telah disesaki kurma, susu, roti tepung sya’ir, dan pahak kambing yang harum. Abud Darda’ mempersilahkan tamunya keruang jamuan.

“Makanlah Saudaraku!” ujar Abud Darda’ , “Adapun aku telah berniat untuk puasa hari ini.”
Lagi-lagi Salman tersenyum. “Aku juga bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam GenggamanNya,”kata Salman,”Bahwa sejak pagi hari ini takkan ada sesuap pun makanan yang akan lewat dikerongkongan hingga ajal menjeput. Kecuali kau juga makan bersamaku di pagi yang indah ini.”

“Demi Allah itu sumpah yang batil!, tukas Abud Darda’.
“Hanya engkaulah yang bisa membatalkannya, dengan ikut makan bersamaku.”


Lagi-lagi, Salman berhasil meruntuhkan niat Abud Darda’ untuk berpuasa di hari terik itu. Abud Darda’ dengan terpaksa ikut makan. Tapi harus di akuinya, bahwa hidangan pagi ini memang begitu istimewa dan terasa lezat baginya. Usai menikmati santapan yang nikmat itu tampilah Salman dengan nasehat agungnya.

“Sesungguhnya,” tegas Salman, “Rabbmu memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya, tubuhmu memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya keluargamu juga memiliki hak atas dirimu. Berbuat adillah kepada mereka dalam mengabdikan diri kepada Rabbmu.”
Kisah yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari pada perihal membuat makanan  di Kitab Adab dalam Shahih-nya ini tersambung dengan menghadapnya Abud Darda’ pada sang Nabi. Diadukannya ulah saudaranya itu yang telah menggagalkan ibadah-ibadahnya dalam kunjungan kerumahnya. Disampaikannya pula nasehat Salman. Maka bersabdalah Rasulullah Saw, “Salman benar adanya. Seorang penasehat yang tulus hati.”

Menghadirkan kebaikan bagi mereka yang kita cintai adalah cinta sejati. Mari bertanya pada Salman jika hendak tau seperti apa cinta karena Allah itu. Cinta karena Allah adalah cintanya orang asing terlalu bersemangat menebar kebaikan. Cinta yang bukan kata benda melainkan kata kerja. Cinta yang tidak jatuh melainkan harus dibangun.
Bagi kita yang masih mengeluhkan betapa sulitnya mencari sahabat sejati, mungkin kita memang salah pandang. Mungkin yang kita cari adalah sahabat yang akan memberi kemanfaatan bagi diri ini. Adapun, andai kita mencari sahabat untuk diberi, pastilah mereka segera hadir di hadapan. Sebab mereka memang ada ditiap sudut dan seluruh penjuru bumi.
Dalam dekapan ukhuwah, jadilah orang asing, dan jadilah pencari sahabat untuk diberi. Dan, seperti Salman, bukanlah Sang Nabi juga memberi pesan kepada kita untuk menjadi orang asing untuk kehidupan ini? “Jadilah kalian di dunia,” begitu sabdanya dalam riwayat Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, “Bagai orang asing atau penyebrang jalan.”
Dalam dekapan ukhuwah, kita adalah orang asing. Orang yang mencari sahabat untuk diberi. 



~Dikutip dari buku Dalam Dekapan Ukhwah~

2 komentar: